Putusan Mahkamah Konstitusi Aset Negara Tetap Tidak Bisa Disita

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Aset Negara Tetap Tidak Bisa Disita


Putusan Mahkamah Konstitusi Aset Negara Tetap Tidak Bisa Disita
Jakarta, SI
MK menilai kerugian yang dialami pemohon disebabkan karena penerapan norma, bukan persoalan konstitusionalitas norma
Intinya, pasal itu menyebutkan terhadap aset negara tak bisa dilakukan penyitaan. Nah, disinilah persoalannya. Tedjo memiliki perkara perdata melawan Walikota Surabaya. Berdasarkan Putusan pengadilan yang inkracht, Tedjo akhirnya menang. Walikota harus membayar sejumlah uang kepada Tedjo. Namun, Walikota tak mau melaksanakan putusan itu. Langkah Tedjo untuk melakukan penyitaan terhadap aset Kota Surabaya tak bisa dilakukan. Mereka selalu berlindung dibalik pasal itu, tegasnya.
Satu-satunya langkah tersisa yang dimiliki Tedjo adalah membawa Pasal 50 itu ke MK. Sayangnya, usaha itu untuk sementara kandas karena MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Dalam pertimbangannya, MK menilai perkara Tedjo itu merupakan persoalan penerapan hukum. Kerugian pemohon sama sekali tidak ada hubungannya dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujiannya, ujar Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan.
Maruarar mengatakan, dalam persoalan ini, cantelan Pasal dalam UUD 1945 yang digunakan Tedjo tidak ada kaitannya dengan kerugian yang dialami olehnya. Tedjo memang membawa Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945. Pasal yang dijadikan dasar pengajuan permohonan sama sekali tidak dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 50 undang-undang a quo, jelas Maruarar lagi.
MK akhirnya berkesimpulan kedudukan hukum atau legal standing Tedjo tidak memenuhi syarat-syarat hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK. Karenanya, lanjut Tedjo, MK tidak perlu mempertimbangkan dan menilai lebih lanjut pokok permohonan. Proses persidangan memang berlangsung singkat. Tanpa mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah maupun saksi dan ahli, sebagaimana lazimnya, MK langsung menjatuhkan putusan. Alasannya, permohonan Tedjo ini sejak awal tidak relevan.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi telah menjelaskan larangan untuk menyita aset negara sudah eksis sejak zaman kolonial. Tujuannya justru untuk melindungi kepentingan umum. Bayangkan saja bila Gedung MK ini disita, tuturnya. Karenanya, ia tak sependapat dengan Tedjo bila Pasal itu dinilai diskriminatif.
Arsyad menilai persoalan ini hanya berkaitan dengan proses eksekusi saja. Ia menyarankan agar Tedjo meminta Ketua PN Surabaya mengeluarkan aanmaning atau surat teguran lagi. Tapi permintaan anda ini ditembuskan juga ke Pengadilan Tinggi dan Ketua Muda Pengawasan MA, ujarnya. Dengan tembusan itu, Arsyad menilai eksekusi akan berlangsung lancar.
Putusan memang telah diketok. Isinya pun mirip dengan apa yang telah diutarakan Arsyad tersebut. Tak ada diskriminasi dalam Pasal 50 itu. Meski begitu, Tedjo sampai saat ini masih bertanya-tanya. Mengapa bila rakyat kalah berperkara dengan negara, aset rakyat bisa disita. Sedangkan ketika negara kalah berperkara dengan rakyat, aset negara tidak dapat disita. Pertanyaan yang masih disimpan Tedjo ketika menuju rumahnya selepas menghadiri sidang pembacaan putusan di MK.
Pria tua itu tak bisa memendam amarahnya lagi. Tedjo Bawono, nama lengkapnya, menumpahkan amarahnya saat diwawancarai wartawan usai sidang. Ini tidak adil, katanya. Mahkamah Konstitusi (MK) memang baru saja mengetuk palu putusan atas permohonan Tedjo dalam pengujian Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima, ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar di ruang sidang MK, Rabu (28/1).
Putusan ini bagi Tedjo bak petir di siang bolong. Ia mengaku tak tahu kemana lagi akan memperjuangkan haknya. Saat ini ia hanya bisa mengomentari putusan itu. Bagaimana mungkin aset negara itu tak bisa disita? ujarnya.
Tedjo memang menunjuk Ketentuan Pasal 50 UU Perbendaharaan Negara. Pasal itu menyebutkan 'Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap: a. uang atau barang berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga; b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah; c. barang bergerak milik negara/ daerah yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga; d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah; e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.'  
Intinya, pasal itu menyebutkan terhadap aset negara tak bisa dilakukan penyitaan. Nah, disinilah persoalannya. Tedjo memiliki perkara perdata melawan Walikota Surabaya. Berdasarkan Putusan pengadilan yang inkracht, Tedjo akhirnya menang. Walikota harus membayar sejumlah uang kepada Tedjo. Namun, Walikota tak mau melaksanakan putusan itu. Langkah Tedjo untuk melakukan penyitaan terhadap aset Kota Surabaya tak bisa dilakukan. Mereka selalu berlindung dibalik pasal itu, tegasnya.
Satu-satunya langkah tersisa yang dimiliki Tedjo adalah membawa Pasal 50 itu ke MK. Sayangnya, usaha itu untuk sementara kandas karena MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Dalam pertimbangannya, MK menilai perkara Tedjo itu merupakan persoalan penerapan hukum. Kerugian pemohon sama sekali tidak ada hubungannya dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujiannya, ujar Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan.
Maruarar mengatakan, dalam persoalan ini, cantelan Pasal dalam UUD 1945 yang digunakan Tedjo tidak ada kaitannya dengan kerugian yang dialami olehnya. Tedjo memang membawa Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945. Pasal yang dijadikan dasar pengajuan permohonan sama sekali tidak dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 50 undang-undang a quo, jelas Maruarar lagi.
MK akhirnya berkesimpulan kedudukan hukum atau legal standing Tedjo tidak memenuhi syarat-syarat hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK. Karenanya, lanjut Tedjo, MK tidak perlu mempertimbangkan dan menilai lebih lanjut pokok permohonan. Proses persidangan memang berlangsung singkat. Tanpa mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah maupun saksi dan ahli, sebagaimana lazimnya, MK langsung menjatuhkan putusan. Alasannya, permohonan Tedjo ini sejak awal tidak relevan.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi telah menjelaskan larangan untuk menyita aset negara sudah eksis sejak zaman kolonial. Tujuannya justru untuk melindungi kepentingan umum. Bayangkan saja bila Gedung MK ini disita, tuturnya. Karenanya, ia tak sependapat dengan Tedjo bila Pasal itu dinilai diskriminatif.
Arsyad menilai persoalan ini hanya berkaitan dengan proses eksekusi saja. Ia menyarankan agar Tedjo meminta Ketua PN Surabaya mengeluarkan aanmaning atau surat teguran lagi. Tapi permintaan anda ini ditembuskan juga ke Pengadilan Tinggi dan Ketua Muda Pengawasan MA, ujarnya. Dengan tembusan itu, Arsyad menilai eksekusi akan berlangsung lancar.
Putusan memang telah diketok. Isinya pun mirip dengan apa yang telah diutarakan Arsyad tersebut. Tak ada diskriminasi dalam Pasal 50 itu. Meski begitu, Tedjo sampai saat ini masih bertanya-tanya. Mengapa bila rakyat kalah berperkara dengan negara, aset rakyat bisa disita. Sedangkan ketika negara kalah berperkara dengan rakyat, aset negara tidak dapat disita. Pertanyaan yang masih disimpan Tedjo ketika menuju rumahnya selepas menghadiri sidang pembacaan putusan di MK.(sumber: hukum online)