Putusan Majelis Hakim PN Jaksel Atas Lepas dari Tuntutan Hukum Anggota Polri oleh Lembaga Judicial Patut Dihormati

 

Putusan Majelis Hakim PN Jaksel Atas Lepas dari Tuntutan Hukum Anggota Polri oleh Lembaga Judicial Patut Dihormati

Putusan  Majelis Hakim PN Jaksel Atas Lepas dari Tuntutan Hukum Anggota Polri oleh Lembaga Judicial Patut Dihormati

Jakarta, SI

Polemik putusan pengadilan majelis hakim PN Jakarta Selatan, atas lepas dari tuntutan hukum anggota Polri di KM 50 Cikampek terkait kematian anggota FPI mendapatkan tanggapan dari Guru Besar Hukum Pidana/Pengajar PPS Bid Studi Ilmu Hukum UI, Prof DR Indriyanto Seno Adji, SH MA.

Menurutnya, sebagai negara hukum, semua warga negara Indonesia, sepatutnya tunduk pada prinsip-prinsip Rule of Law.

Karena itu, dirinya menghormati putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap kasus tersebut. "Prinsip due process of law menjadi basis penegakan hukum yang wetmatigheid oleh Polri terhadap kasus KM 50 di Cikampek tersebut," ujarnya, Jumat (18/3/2022).

Dia menambahkan, rilis dan pertimbangan putusan pengadilan tersebut harus di cermati secara seksama dan membuktikan khususnya tidak ada tindakan “Unlawfull Killing", dan tindakan penegak hukum Polri justru Based on Law dan SOP yang legitimatif.

"Perbuatan anggota Polri dibenarkan secara hukum sesuai kondisi Noodweer, yang justru memang harus dilakukan sesuai kondisi dan sifat tindakannya yang sesuai prinsip proporsionalitas dan subsidiaritas," jelas Indriyanto.

Ditegaskannya, tindakan Polri pada kasus ini berbasis pada regulasi umum dari General Principles of Criminal Law yang ada dalam KUHPidana.

"Mengenai kematian anggota FPI di KM 50 tol Cikampek telah memberikan argumentasi yang utuh, jelas dan tegas antara makna “Unlawful Killing” dengan “Noodweer” atau pembelaan terpaksa yang dilakukan dari penegak hukum, yang justru pembelaan terpaksa harus dilakukan karena adanya serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum terhadap petugas penegak hukum Polri," katanya.

Disamping itu, karenanya pembelaan terpaksa berupa serangan bersenjata terlebih dahulu oleh anggota FPI (KM 50 tol Cikampek) justru dibenarkan secara hukum atau Law Full.

"Kematian anggota FPI, dipertimbangkan secara utuh dan tidak parsial, karena kasus ini memiliki causaliteit relevantie antara dugaan adanya Unlawfull Killing disatu sisi dengan Noodweer di sisi lainnya yang dibenarkan tindakan Polri tersebut oleh pengadilan," ungkapnya.

Padahal, sambungnya, perlu diketahui bahwa kematian anggota FPI ini sebagai dampak atau akibat dari serangan dan ancaman serangan terlebih dahulu yang dilakukan oleh anggota FPI terhadap penegak hukum Polri.

"Putusan Pengadilan Jakarta Selatan memberikan legitimasi hukum yang valid bahwa tindakan Polri adalah sesuai SOP universal, tidak ada unlawfull killing dan justru sesuai dengan karakter-karakter prinsip due process of Law," tandasnya, sebagaimana dilansir dari Media apa kabar.com.  

Sementara itu, menurut Kuasa hukum kedua anggota Polri tersebut, Henry Yosodiningrat, mengatakan penembakan terpaksa dilakukan sebagai tindakan membela diri karena empat anggota FPI melawan saat ditangkap.

Majelis hakim pun sepakat dengan pembelaan kuasa hukum kedua terdakwa. Hakim berpendapat ada serangan yang melawan hukum dari anggota FPI yang dilakukan dengan cara mencekik, mengeroyok, menjabak, serta merebut senjata api anggota polisi sehingga Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella harus melakukan tindakan tegas. .  (dip/red)