Harus
Diwaspadai Perlawanan Koruptor :
Ramai
ramai Terpidana Korupsi Ajukan PK Setelah Hakim Agung Artidjo Pensiun
Jakarta,
SI
Sejumlah terpidana
kasus korupsi saat ini sedang mengajukan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) RI terkait perkara yang menjerat mereka.
Pengajuan PK ini mulai marak selepas Artidjo Alkostar pensiun sebagai Hakim
Agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung.
Gelombang pertama
pengajuan PK dimulai Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Patai Demoktar (PD)
itu. Anas mengajukan PK beberapa hari menjelang Artidjo pensiun. Anas kemudian
membantah jika PK yang ia ajukan lantaran Artidjo pensiun. “Tidak ada kaitannya
dengan masa tugas Pak Artidjo, tetapi memang ini terkait dengan putusan Pak
Artidjo. Putusan yang buat saya tidak kredibel,” kata Anas di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Setelah Anas PK, berbondong-bondong
terpidana kasus korupsi lainnya mengajukan PK seperti Suryadharma Ali dan Siti
Fadilah Supari. Terbaru, Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel, Jero Wacik,
dan Muhammad Sanusi, ikut mengajukan PK atas perkara yang menyeret mereka jadi
terpidana korupsi.
Rentetan upaya PK ini
disoroti peneliti korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter
Kaban sebagai hal yang terkait dengan pensiunnya mantan hakim agung Artidjo
Alkostar. Lola, sapaan Lalola, menduga koruptor berani mengajukan PK karena MA
dianggap akan kooperatif. “Bisa jadi karena tidak ada lagi hakim yang
dikhawatirkan akan 'menjaga' di MA, padahal kalau dicermati, sudah cukup lama
para koruptor ini 'menuntaskan' upaya hukum mereka sampai tahap kasasi,” kata
Lola, (12/7/2018) lalu.
Selama ini, Lola
meyakini, banyak koruptor takut diadili Artidjo, lantaran ia memang terkenal
sebagai hakim yang “kejam” terhadap koruptor. Anas dan Jero pernah merasakan
bagaimana putusan buat mereka jadi semakin berat seusai perkaranya diadili
hakim agung berdarah Sumenep itu.
Anas misalnya. Ia
diganjar hukuman 14 tahun penjara subsider satu tahun dan empat bulan kurungan,
hukuman uang pengganti sebesar Rp 57,5 miliar, serta dicabut hak politik untuk
dipilih. Hukuman ini lebih berat dari vonis 7 tahun di tingkat banding, yang
meringankan vonis di tingkat I.
Menurut Lola,
pemberatan hukuman yang dilakukan Artidjo adalah "teror" bagi
koruptor. Situasi tersebut menjadikan MA sebagai lembaga yang ditakuti buat
para pesakitan korupsi yang mencoba mendapat keringanan hukuman. “Artidjo bisa
dianggap manifestasi kegeraman publik terhadap para koruptor. Dia menjaga agar
para koruptor tidak mendapat kemudahan dari pengadilan,” kata Lola.
Tren peningkatan jumlah PK ini, kata Lola, harus
diwaspadai. Ia khawatir terpidana korupsi lain akan mengikuti langkah para
terpidana ini karena optimistis gugatannya akan dikabulkan setelah Artidjo
pensiun. “Tren pengajuan PK setelah Artidjo pensiun, menunjukkan koruptor lebih
percaya dengan kondisi MA yang sekarang,” kata Lola.
MA
Harus Transparan
Kekhawatiran ini pula
yang sempat didengar Komisi Yudisial (KY). Juru Bicara KY Farid Wajdi meyakini
MA akan tetap netral meskipun ditinggal Artidjo. Menurut Farid, MA adalah
lembaga independen yang tak mudah diintervensi. “Hakim yang akan menangani PK
tersebut juga akan independen dan imparsial,” kata Farid beberapa waktu lalu.
Farid sangsi dengan
dugaan yang menyebut ada peningkatan tren PK dan melemahnya MA. Menurut Farid,
kedua hal tersebut tak berkaitan karena PK merupakan hal yang biasa dalam dunia
hukum. Ia percaya, MA bisa membuktikan kredibilitasnya tidak akan mau
diintervensi oleh siapa pun, termasuk para terpidana korupsi.
Dihubungi secara
terpisah, Komisioner Komisi Yudisial Sukma Violetta mengaku pihaknya siap
menyampaikan kekhawatiran publik kepada MA jika ada masalah. Namun, ia meminta
publik tidak berasumsi MA akan lemah dan mendukung pengajuan PK para narapidana
korupsi. “Tapi kalau terkait dengan PK itu sendiri memang perlu diwaspadai,”
kata Sukma.
Sukma menjelaskan, PK berbeda
dengan banding atau kasasi karena merupakan upaya luar biasa sehingga
syarat-syarat pengajuannya seperti novum serta syarat administratif harus
terpenuhi. Oleh sebab itu, KY berharap pelaksanaan PK di MA bisa transparan dan
hati-hati.
MA
Janji Tetap Netral
Terkait banyaknya PK
yang diajukan terpidana korupsi, Juru Bicara MA Hakim Agung Suhadi mengatakan
pihaknya berkomitmen tetap netral dalam memberikan putusan. Mereka tetap
mengedepankan pemberantasan korupsi meskipun hakim seperti Artidjo tidak ada
lagi di MA. “MA tidak tergantung kepada seseorang. Satu orang pensiun, yang
lain masih ada dan dia punya tanggung jawab untuk memberantas korupsi,” kata
Suhadi beberapa waktulalu.
Suhadi menegaskan,
Mahkamah Agung akan adil dan imparsial dalam memutus perkara seperti saat
Artidjo belum pensiun. Hakim Agung MA akan menelaah dokumen secara hukum acara
maupun materi perkara yang diajukan. Namun, terkait putusan, Suhadi tidak
menutup kemungkinan koruptor bebas. “Namanya perkara ada kemungkinan
dikabulkan, ada kemungkinan ditolak. Namanya juga upaya hukum. Jadi tergantung
kepada alasan-alasan hukumnya,” kata Suhadi.
Suhadi tak
mempersoalkan bila ada pihak yang ragu dengan penanganan perkara di MA. Mereka
dipersilakan untuk memonitor penanganan perkara di Mahkamah. “Silakan. Orang
lain bisa memantau atau memberikan pendapat tentang pelaksanaan hukum terutama
mengenai tipikor,” kata Suhadi. (tirto.id/dip/red)